Articel

HASYIM ASY’ARI DAN PEMIKIRANNYA[1]
Oleh: Mahadieyah Al Mawardi[2]
A.    BIOGRAFI SINGKAT
K. H. M. Hasyim Asy’ari tidak dipisahkan riwayat kerajaan Majapahit dan kerajaan Islam Demak. Dia adalah keturunan Brawijaya VI, yakni Kartawijaya atau Darmawulan, dan dari perkawinannya dengan putri Champa lahirlah Lembu Peteng (Brawijaya VII). Brawijaya VII mempunyai beberapa putra, di antaranya Joko Tingkir alias Karebet. Joko Tingkir punya Putra Banawa, anak dan Pangeran Banawa bernama Pangeran Sambo. Pangeran Banawa menjadi guru tarikat di Kudus, karna tidak suka terhadap urusan duniawi dan kerajaan. Putranya bernama Muhammad dikirim ke Sambo, waktu kembali bergelar Pangeran Sambo. Putranya bernama Ahmad, Ahmad punya anak Abdul Jabar. Abdul Jabar punya anak Sichah yang kemudian menjadi seorang kyai terkemuka. Beliau mempunyai dua orang putri yaitu Layinah dan Fatimah. Kyai Sichah, sebagaimana umumnya kyai waktu itu membuka desa untuk mendarmabaktikan ilmunya kepada santri yang datang kepadanya. Desa itu ialah Nggendang, terletak kurang lebih 4 km sebelah barat laut kota Jombang sekarang. kyai Sichah mendirikan pondok pesantren yang termasyhur pada awal abad ke-19 di Jwa Timur. Di antara sekian banyak santri ada seorang santri yang bernama Usman berasal dari Jepara yang mempunyai wawasan dan pandangan luas, kemudian Kyai Sichah menjadikan Usman sebagai menantu.
Dengan keluasan ilmu, keahlian dan ketekunannya, Usman mendapatkan kepercayaan untuk melanjutkan kepemimpinan pesantren Nggendang, kemudian menjadi kyai besar yang luas ilmunya. Perkawinan Kyai Usman dengan putri Kyai Sichah melahirkan putra, namun putranya tidak berumur panjang. Pada tahun 1851 lahirlah seorang putri dan diberi nama Halimah atau Winih.[3] Di antara santri pesantren Nggendang adalah Muhammad Asy’ari yang berasal dari Demak, suatu daerah yang terkenal dengan kemajuan agama Islam di Jawa Tengah. Muhammad Asy’ari denangan penuh semangat datang ke Jombang untuk menuntut ilmu di pondok pesantren Nggendang, pimpinan Kyai Usman.
Di pondok tersebut Muhammad Asy’ari ditunjuk sebagai lurah pondok. Karena akhlaknya baik, rajin dan pandai bergaul, tertariklah Kyai Usman, dan akhirnya ia dipertunangkan dengan Halimah[4]. Dari perkawinan lahirlah Hasyim pada hari selasa tanggal 14 Februari 1871 atau bertepatan dengan 24 Dzul Qa'dah  1287di Pesantren  Gedang, Tambakrejo, Jombang.[5]
Saat masih dalam kandungan tanda-tanda kebesaran Hasyim sudah terlihat. Pada suatu malam ibunya bermimpi bulan jatuh dari langit dan hinggap di kandungannya. Tentu mimpi tersebut bukanlah hanya bunga tidur semata, melainkan sebuah pertanda yang baik. Selain itu Kiai Hasyim berada dalam kandungan ibunya kurang lebih empat belas bulan, hal ini ditafsirkan oleh banyak orang sebagai sebuah keistimewaan.
Karakter keulamaan yang melekat pada Kiai Hasyim bermula dari pendidikan orangtua dan kakeknya yang dikenal sebagi ulama. Ia diasuh oleh kakeknya hingga usia enam tahun, sejak kecil ia ditempa dengan pendidikan lingkungan pesantren, maka tidak heran jika fitrah seorang Kiai Hasyim adalah dunia pesantren yang identik dengan pendidikan keislaman.[6]
Kecerdasan Kiai Hasyim Asy'ari mulai terlihat saat ia berusia tiga belas tahun. Pada usia yang relatif muda ini beliau dipercaya oleh ayahnya untuk mengajar pada santri di pesantren keras.[7] Namun hal tersebut tidak menjadikan Kiai Hasyim Asya'ri bangga, justru beliau merasa ilmunya masih sangat kurang. Pada usia lima belas tahun, ia berinisiatif menimba ilmu di pesantren lain yang menjadi pijakan awal Kiai Hasyim dalam berpetualang mencari ilmu, ia menjadi santri di pesantren Wonorojo Jombang. Lalu ia melanjutkan perjalanan ilmiahnya ke pesantren Wonokoyo Probolinggo.
Kemudian, Kyai Hasyim melanjutkan pengembaraan intelektualnya di Pesantren Langitan, Tuban. Hingga akhirnya ia mendalami ilmu keagamaan di Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura yang diasuh oleh Kyai Cholil bin Abdul Latif, seorang Kiai yang pertama kali mempopulerkan kitab babon bahasa Arab, yaitu Alfiyah Ibnu Malik, dan juga dianggap sebagai waliyullah.
Pada tahun 1891, Kiai Hasyim melanjutkan petualangan ilmiahnya di Jwa setelah 3 tahun belajar di “Pulau Garam”, Bangkalan Madura. Kini pilihannya adalah Pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo, di bawah asuhan Kiai Ya’qub. Hingga akhirnya Kiai Ya’qub menyampaikan proposal untuk menikahkan putrinya, Khadijah dengan Kiai Hasyim. Pada saat itu Kiai Hasyim tidak langsung menerimanya dikarenakan masih senang mencari ilmu dan belum terpikir untuk menikah, namun pada akhirnya Kiai Hasyim menuruti apa yang diinginkan oleh Kiainya.
Setelah menikah beliau menunaikan haji bersama istri dan mertuanya, setelah tujuh bulan berada di mekah, kiai hasyim tidak hanya dikaruniai ilmu, lebih dari itu beliau diberi karunia seorang putra yang diberi nama Abdullah. Namun kebahagiaan itu berubah menjadi kesedihan karena istrinya, khadijah wafat. Kemudian setelah empat puluh hari, Abdullah, puteranya juga meninggal dunia. Setelah peristiwa itu kiai hasyim pulang ke tanah air mengantarkan mertuanya.
Pada tahun 1893, kiai Hasyim memutuskan untuk berangkat ke tanah suci untuk melanjutkan petualangannya mencari ilmu. Saat berada di tanah suci beliau setiap Sabtu pagi, kiai Hasyim berziarah ke goa Hira dengan harapan mencari berkah dan menapak tilas perjalanan Nabi Muhammad mengingat di goa tersebut Nabi Muhammad pertama kali menerima wahyu. Di goa ini beliau menghafalkan hadist-hadist Nabi dan membaca Al Quran.
Gairah kiai hasyim menuntut ilmu sangatlah besar. Selama di mekkah beliau memanfaatkan waktu dengan semaksimal mungkin untuk beribadah dan menambah ilmu sebelum kembali ke tanah air. Beberapa ulama yang pernah menjadi gurunya antara lain: Syaikh Syuaib bin Abdurrahman, Syaikh Mahfudz Al Turmusi, Syaikh  Khatib Al Minangkabawi, Syaikh Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Al Yamani, Syaikh Rahmatullah, dan Syaikh Bafadhal. Selain itu ada beberapa sayyid yang menjadi gurunya antara lain: Sayyid Abbas Al Maliki, Sayyid Sultan Hasyim Al Daghistani, Sayyid Abdullah Al Zawawi, sayyid Ahmad bin Hasan Al Aththas, dan masih banyak lainnya.
Selain menuntut ilmu beliau juga mengajar, murid kiai hasyimpun tidaklah sedikit, antara lain: Syaikh Sa’dullah Al Maimani, Syaikh Umar Hamdan, Al Syihab Ahmad bin Abdullah, KH Wahab Hasbullah, KH Asnawi, KH Bisri Syamsuri, KH Dahlan, KH Shaleh.
Pada tahun 1899, kiai Hasyim menikah dengan nyai Nafisah, putrid kiai Romli dari Kediri. Pertemuan tersebut saat kiai Romli menunaikan ibadah Haji bersama dengan putrinya. Kekaguman kiai Romli kepada kiai Hasyim telah mendorongnya untuk menikahkan putrinya dengan kiai Hasyim.[8]
Pada tahun 1899, kiai Hasyim Asy’ari kembali ke kampung halaman. Sepulangnya dari mekkah beliau membantu di pesantren kakeknya kemudian di pesantren ayahnya. Dan ditahun ini pula beliau membeli sebidang tanah dan mendirikan pesantren tebuireng.[9]
Dalam suasana mempertahankan kemerdekaan dan membela Tanah Air, Kiai Hasyim meninggal dunia karena mengalami pendarahan otak. Ia meninggal tanggal 25 Juli 1947 atau 7 Ramadhan 1366 pada pukul 03.00 semua orang berduka atas berita tersebut. Namun, karya dan jasanya telah memberikan sumbangsih yang sangat berarti untuk cita-cita keislaman dan kebhinekaan dalam keindonesiaan.

B.     JASA & PERJUANGANNYA
1.      Keislaman
Jasanya yang paling pokok adalah berdirinya Jam’iyah Nahdhatul Ulama (NU). Dengan NU ia berjuang mempertahankan umat, disatukannya potensi umat Islam menjadi kekuatan kokoh dan kuat, tidak mudah menjadi korban oleh kepentingan politik yang hanya mencari kedudukan dengan mengatasnamakan Islam, sedangkan beramal adalah suatu keharusan. Ia telah berkorban untuk kepentingan umat bahkan jauh sebelum NU berdiri. Hasil perjuangannya konkret dan dapat saksikan sekarang ialah telah berdirinya pondok-pondok pesantren NU yang dibangunnya dalam mempersatukan seluruh ulama menjadi suatu kekuatan untuk memepertahankan kepentingan umat Islam. NU meraih kemajuan dan berkembang menjadi organisai massa.[10]
a.      Revitalisasi Ahlussunnah wal Jamaah
Di  dalam internal NU, paham Ahlussunnah wal Jamaah sebagimana dirancang bangun Kiai Hasyim merupakan sebuah acuan yang diterjemahkan dalam pendidikan keagamaan yang berkembang di pesantren serta metode pengambilan hukum dalm forum-forum keagamaan dan forum kemasyarakatan.
Meskipun demikian, gagasan untuk melakukan reinterpretasi kerap kali bermunculan seiring dengan perkembangan zaman. Langkah tersebut diambil dalam rangka memaksimalkan fungsionaisasi paham Ahlussunnah wal Jamaah  yang telah dirintis oleh pendiri NU tersebut. Di samping itu, ada alasan yang lebih penting, yaitu dalam rangka melakukan distingsi dengan pihak-pihak lain yang selam ini mengklaim dirinya perpaham Ahlussunnah wal Jamaah. Padahal, dalam praktiknya mereka tidak konsisten dengan parameter, sebagaimana telah dijelaskan para ulama Ahlussunnah wal Jamaah seperti Kiai Hasyim. Bahkan, mereka kerap kali mengklaim hal itu  menyebabkan paham Ahlussunnah wal Jamaah  mengalami pereduksian makna.[11]
Oleh karena itu, sejumlah ulama alam tubuh NU melakukan revitalisasi. Menurut Gus Dur (2008), upaya tersebut harus dibingkai dalam tiga fundamen yang mendasari setiap uapaya revitalisasi, yaitu:
a)      Pandangan bahwa keseluruhan hidup adalah ibadah (al-hayatu ‘ibadatun kulluha)
b)      Pentingnya kejujuran dalam hidup bermasyarakat
c)      Perlunya moralitas yang utuh dan kuat
Sosok yang menonjol dalam melakukan revitalisasi terhadap paham Ahlussunnah wal Jamaah adalah K. H. Said Aqil Siradj. Menurut dia ahlusunnah adalah orang-orang yang mempunyai paham keagamaan dalam seluruh sektor kehidupan yang dibangun di atas prinsip moderasi, keseimbangan, keadilan, dan toleransi. Menurut K. H. Said Aqil Siradj, kemoderatan Ahlussunnah wal Jamaah diekspresikan dalam metode pengambilan hukum yang menggabungkan nash dan akal.[12]
Prinsip keseimbangan (al-tawazun) diekspresikan dalam sikap politik, yaitu sikap tidak membenrakan berbagai tindakan ekstrem yang sering kali menggunakan kekerasan dalam tindakannya dan mengenmbangkan kontrol terhadap kekuasaan yang dlalim. Keseimbangan ini mengacu pada upaya untuk mewujudkan ketenteraman dan kesejahteraan bagi segenap warga masyarakat.
Adapun prinsip keadilan (al-ta’adul) mengacu pada kehidupan masyarakat yang berkeadilan, antara kelompok kaya (the have) dan kelompok yang miskin (the have not). Begitu pula keadilan dalam konteks kebudayaan dan politik, yang di dalamnya mencerminkan  dimensi kesetaraan bagi setiap kelomopok, baik mayoritas maupun minoritas.[13] Dan prinsip toleransi (al-tasamuh) memastikan bahwa kehidupan yang damai dan rukun merupakan cerminan dari kehendak untuk menjadikan Islam sebagai agama yang tidak hanya damai, tetapi juga mampu mendamaikan.[14]
Di dalam sebuah hadis disebutkan bahwa kaum Muslim adalah orang yang senantiasa menggunakan lisan dan tangannya untuk membangun kedamaian. Maka, seorang Muslim sejatinya harus memerankan pihak yang senantiasa menjadi juru damai dalam suasana konfliktual, bukannya justru memanas-manasi keadaan, apalagi melakukan tindakan terorisme.
Secara spesifik, K. H. Said Aqil Siradj merumuskan paham Ahlussunnah wal Jamaah dalam berbagai bidang kehidupan, antara lain:
a)      Ranah aqidah
Pada ranah ini, seorang muslim meyakini Ahlussunnah wal Jamaah harus meyakini perihal ketuhanan, kenabian, dan kebangkitan setelah hari akhir.
b)      Ranah politik
Perjuangan politik tidak berupa perjuangan simbolis, sebagimana dilakukan Syiah dan sejumlah pihak yang mengagendakan negara Islam. Perjuangan politik yang dimaksud adalah perjuangan nilai-nilai moralitas yang akan memperkokoh sebuah tatanan politik sebuah negara.
c)      Ranah penetapan hukum (istinbathul ahkam)
Pada ranah ini harus memperluas cakrawala dalam melakukan upaya penetapan hukum Islam, yang selama ini hanya menggunakan ungkapan atau pendapat para ulama mazhab, juga menggunakan metodologi yang telah digariskan ulama mutakhir.
d)     Ranah tasawuf
Pada ranah ini, tasawuf harus dimaknai sbagai gerak yang dinamis untuk menjaga keseimbangan antara dimensi duniawi dan ukhrawi.
Ada tiga point yang menonjol dari rumusan Ahlussunnah wal Jamaah yang dilakukan kalangan muda PWNU Jawa Timur, yaitu:
a)      Apresiasi yang sangat baik terhadap paradigma yang dikukuhkan oleh Kiai Hasyim
b)      Apresiasi terhadap tradisi dan budaya
c)      Apresiasi terhadap masalah-masalah sosial yang menyentuh kepentingan publik secara luas, baik dalam konteks negara maupun masyarakat sipil.
Paham Ahlussunnah wal Jamaah merupakan sebuah paham yang terbuka, yang dapat menyentuh aspek kehidupan, baik pada ranah individual, keluarga, negara, dan pasca dunia sekalipun. Paham ini telah memberikan kesempatan kepada setiap Muslim untuk menjadi seorang muslim yang berhasil di dunia dan akhirat. Semua itu dilandasi pemehaman yang benar dan mendalam terhadap khazanah keislaman klasik, kejujuran, kehati-hatian, dan kesungguhan untuk mewujudkan kemaslahatan sosial.
K. H. M. Hasyim Asy’ari telah memberikan dharma bhaktinya untuk kepentingan umat Islam khususnya dan masyarakat Indinesia pada umumnya. ia sanggup membangun kesadaran ulama Indonesia sehingga melahirkan daya juang secara bersama-sama mengusir penjajah Belanda dan Jepang denagn usaha dan memperbaiki kehidupan umat Islam. Dari kalangan ulama maka lahir usaha-usaha positif dan bermanfaat bagi Islam. Usaha-usaha di bidang pendidikan dan pembibitan kader ulama, dengan didirikannya pesantren Tebuireng, juga mempunyai pengaruh besar bagi perluasan syiar Islam. Di samping itu, jasanya dalam bidang pendidikan yang lain adalah beliau mampu menyumbangkan usaha-usaha modernisasi pondok pesantren.
b.      Rahmatan lil ‘alamin
Salah satu yang khas dari keberislaman Muslim di Tanah Air adalah wajah ramah dan toleran dari Islam. Paradigma tersebut muncul dari sebuah pergaulatan panjang antara realitas keindonesiaan dan penghayatn terhadap substansi ajaran Islam. Pergaulatan tersebut melahirkan sebuah ijtihad yang mempunyai dampak luas bagi bangunan kebangsaan, yang kemudian dikenal dengan istilah Islam rahmatan lil’alamin.[15]
Islam yang bernuansa rahmatan lil’alamin merupakan sebuah pencarian tentang identitas yang substansif bagi seorang Muslim. Identitas tersebut tidak hanya bermanfaat bagi umat Islam, tetapi juga bagi umat agama lain, terutama dalam rangka membangun spirit kebangsaan yang lebih kokoh. Dalam konteks keindonesiaan, paradigma tersebut telah mampu menjadikan Pancasila sebagai common platform di antara berbagai agama dan golongan, di mana keislaman dan keindonesiaan dapatr dipersandingkan dalam pelaminan Pancasila. Keduanya bukanlah hal yang bertentanagn.
Dalam hal ini, para ulama di lingkungan Nahdlatul Ulama meyakini, ada tiga pilar persaudaraan dalam Islam yang harus dijadikan landasan berbangsa dan bernasyarakat, yaitu:
a)      Persaudaraan keislaman (al-ukhuwwah al-islamiyyah)
Persaudaraan dalam kategori ini berlandaskan pada kesamaan iman dan syariat.
b)      Persaudaraan kebangsaan (al-ukhuwah al-wathaniyah)
Persaudaraan dalam kategori ini meniscayakan adanya persatuan di tengah kebinekaan (unity in diversity), baik kebinekaan bahasa, agama, maupun suku.
c)      Persaudaraan kemanusiaan (al-ukhuwwah al-basyariyah)
Persaudaraan dalam kategori ini berlandaskan pada sebuah fakta bahwa setiap manusia pada hakikatnya adalah khalifah yang diciptakan oleh Tuhan dengan segala keistemewaan yang dimilikinya.[16]
Islam adalah agama yang membawa pesan damai dan peduli terhadap manusia, terlebih mereka yang lemah, yang miskin yang terpinggirkan dan tidak pernah di penuhi haknya. Beberapa penjelasan diatas semakin menguatkan bahwa tidak ada alasan untuk mengklaim bahwa islam agama penebar kekerasan di dunia ini.
Kiai Hasyim senantiasa berpesan agar kecintaan umat terhadap Nabi dijadikan sebagai katalisator untuk membimbing umat supaya tidak mudah terjerumus ke dalam kubangan keburukan, kejahatan, dan kenistaan. Setidaknya, kecintaan kepada Nabi akan menjadikan mereka mempunyai kewaspadaan dan kehati-hatian bahwa setiap apa yang dilakukan pada dasarnya harus berlandaskan padaajarannya yang mulia dan luhur. Setiap shalawat yang dikumandangkan berisi komitmen untuk menegakkan panji ketauhidan dan kesalehan.

2.      Komitmen Kebangsaan
Kiai Hasyim menentang keras segala bentuk penjajahan asing terhadap negeri tercinta. Pada masa kolonialisme. Kyai Hasyim merupakan orang yang sangat cinta tanah air dan mempunyai rasa nasionalisme tinggi, beliau pernah berfatwa haram bagi umat Islam mengenakan pakaian jas dan berdasi, sebab hukum haram itu karena jas dan dasi kala itu identik dengan pakaian yang dikenakan oleh penjajah Belanda.[17] Fatwa ini muncul karena dilandasi oleh resistensi dan perlawanan budaya terhadap kolonialisme.
Pada tahun 1913 tentara Belanda menyerang pondok pesantren Tebuireng. Bangunan pondok bangunan pondok yang dihancurkan, kitab-kitab yang diajarkan dirampas sedangkan yang lainnya dimusnahkan. Beberapa waktu kemudian diberitahukan bahwa pondok pesantren Tebuireng adalah markas pemberontak dan pusat Ekstrimis sejak saat itu, kemana pihak Belanda untuk segera memberlakukan politik kristenisasi semakin mengeras.[18] Ia menghimbau segenap umat Islam agar tidak melakukan donor darah kepada Belanda dan juga melarang para ulama mendukung Belanda dalam pertempuran melawan Jepang.
Pada tahun 1937, Kiai Hasyim di tawari oleh Ratu Belanda Wilhelmina untuk mendapatkan bintang kehormatan, yang terbuat dari perak dan emas. Namun beliau menolak sembari menasihati para santrinya di Pesantren Tebuireng agar tidak mudah tergiur dengan godaan penjajah.
Pada masa penjajahan, Kiai Hasyim merupakan sosok yang berada di garda terdepan dalam rangka menentang segala macam penindasan yang dilakukan oleh penjajah. Perannya yang populer adalah tatkala ia mengeluarkan fatwa perlawanan terhadap Belanda. Fatwa tersebut terdiri dari tiga butir, yaitu:
1.      Perang melawan Belanda adalah jihad yang wajib dan mengikat dilaksanakan oleh seluruh umat Islam Indonesia.
2.      Kaum Muslimin dilarang menggunakan kapal Belanda selama menunaikan ibadah haji ke Mekkah.
3.      Kaum Muslimin dilarang menggunakan pakaian atau atribut yang menyerupai penjajah.
Menurut Muhammad Asad Syhab (1994), spirit anti kolonialisme Kiai Hasyim sebenarnya tumbuh sejak masih belajar di Mekkah, terutama pascajatuhnya dinasti Ottoman di Turki. Ia mengumpulkan kawan-kawannya dari berbagai negara, berikrar dan berdoa depan Multazam untuk senantiasa menegakkan panji-panji keislaman dan melawan berbgai bentuk penjajahan yang dilakukan oleh Barat.
Salah satu ekspresi dari cinta Tanah Air adalah membela kedaulatan dan mendorong kemerdekaan dari segala bentuk penjajahn. Pada bulan Ramadhan (selepas sholat tarawih), Kiai Hasyim rutin memberikan pengajian kepada para Muslimat. Tetapi, pengajiannya di tudan hingga esok harinya karena ada tamu utusan dari Bung Tomo dan Jenderal Sudirman, yang ditemani oleh Kiai Ghufran. Pada umumnya pesan yang dibawa oleh Bung Tomo adalah soal dinamika pergerakan dan perjuanagn melawan penjajah. Pada saat itu, Kiai Ghufran mengisahkan kepada Kiai Hasyim perihal yang terjadi di Singosari, Mlang dengan banyaknya korban dari pihak rakyat yang berjatuhan.
Mendengar cerita tersebut, tiba-tiba Kiai Hasyim berkata, “Masya Allah... masya Allah.” Ungkapan ini sebagai sebuah keprihatinan dan kepasrahan. Setelah mengucapkan hal itu, ia tidak sadarkan diri dan jatuh pingsan, rupanya peristiwa tersebut merupakan akhir hidupseorang kiai besar yang telah mendedikasikan hidupnya untuk umat dan bangsa.[19]

c.       Karya Karya Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari
Selain senang mencari ilmu dan mengajar beliau juga sangat senang menulis kitab, banyak sekali kitab-kitab yang beliau tulis. Seperti yang dituliskan Zuhairi Misrawi kitab-kitab beliau antara lain:
·         Al Tibyan fi Al Nahyi ‘an Muqatha’at Al Arham wa Al Aqarib wa Ikhwan. 
·         Muqaddimah Al Qanun Al Asasi li Jam’iyyat Nahdlatul Ulama.
·         Risalah fi Ta’kid Al Akhdzi bi Madzhab Al A’immah Al Arba’ah
·         Mawa’idz
·         Arba’ina Haditsan Tata’allaq bi Mabadi’ Jam’iyyat Nahdlatul Ulama
·         Al Nur Al-mubin fi Mahabbati Sayyid Al Mursalin.
Dan masih banyak yang lainnya. Kiai Hasyim merupakan Ulama yang menjadikan ilmu sebagai jalan untuk mencerdaskan umat.





[1] Tulisan ini didiskusikan pada diskusi kajian tokoh yang diadakan oleh pengurus PMII Rayon Fakultas Tarbiyah dan keguruan
[2] Penulis adalah kader PMII Rayon Fakultas Tarbiyah dan Keguruan angkatan 2009
[3] Di dalam buku Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari yang ditulis oleh Zuhairi Misrawi sang ibu mempunyai pertalian darah dengan Raja Brawijaya VI atau Lembu Peteng, yang mempunyai anak Jaka Tingkir atau Karebet. Jaka Tingkir berarti seorang pemuda yang berasal dari Tingkir, yaitu sebuah desa kecil dekat Salatiga, Jawa Tengah. Karebet berarti seorang bangsawan atau pangeran. Jaka Tingkir sendiri adalah Raja Pajang pertama dengan gelar Sultan Pajang atau pangeran Adiwijaya.
[4] Departemen Agama Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, hal. 90.
[5] Zuhairi Misrawi, Hadratussaikh Hasyim Asy'ari Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan. Kompas, Jakarta, 2010.hlm 34
[6] Ibid, hlm. 37.
[7] Dinamakan pesantren keras bukan karena mengajarkan kekerasan, melainkan dikarenakan  lokasinya berada di desa keras Jombang Selatan, konon pesantren ini dahulu dikenal sebagai laboratorium pendidikan keagamaan, pesantren ini didirikan pada tahun 1876 (Zuhairi Misrawi)
[8] Zuhairi Misrawi, Hadratussaikh Hasyim Asy'ari…hlm 45-50
[9] Zuhairi Misrawi, Hadratussaikh Hasyim Asy'ari…hlm 51
[10] Departemen Agama Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Rekonstruksi Sejarah…hlm 91
[11] Zuhairi Misrawi, Hadratussaikh Hasyim Asy'ari…hlm 133
[12] Ibid hlm 140
[13] Ibid. hlm 141
[14] Ibid.hlm 142
[15] Ibid. hlm 182
[16] Ibid. hlm 190
[17] Acep zamzam, Zuly Qodir dkk, Nuhammadiyah Bicara Nasionalisme,Arruz Media. 2011, hlm 109
[18] Ali Anwar, “Avonturisme” NU, Humaniora, Bandung, 2004. Hlm. 124-125.
[19]Ibid. hlm 91

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pleace your coment...